Pages

Selasa, 03 Mei 2011

Ideologi dan peran individu dalam berbangsa ?




Melihat sekiling kota tempat kaki berpijak saat ini dengan batasan pandangan mata, hanyalah menangkap aura kerapuhan yang penuh debu, layaknya ruangan yang terkunci dari gudang tua yang tak difungsikan.
Beranjak dari sebuah keterbelakangan  akibat puing-puing kegeosian beberapa pihak yang serakah tak mengajarkan arti dari kesatuan yang tertuang dari makna pancasila.
Berpuluh tahun menata diri dengan mengusung sebagai bangsa yang berdaulat dengan segala pembenahan di segala lini, namun apa yang dihasilkan...
ya ego yang tak pernah dikikis dari kegengsian membuat pelakon dari unsur masyarakat layaknya poin catur yang hanya bergerak di posisi yang sama tanpa pernah tau siapa "raja" yang dibela dan fungsi dari setiap gerakan yang diambil.
Dibandingkan dengan silaturrahmi menjalin hubungan sosial, ruang tuk jalan lebih banyak dipraktsikan (read: jalan tol), namun yang terjadi malah sebaliknya bahkan jalan yang dianggap praktis malah menjadi penghambat karena tak berjalan beriringan antara kebijkan pengguna jalan (mobil) dan pelebaran jalan ; waktu yang dikira praktis malah menjadi overload, mobilisasi yang realtif cepat malah nganggur dan puncaknya adalah emosi yang tak terelakkan, sehingga mood pun berubah.
Bertanya ke arah pekerjaan??? ya inilah yang telah dihasilkan dari kekagetan perubahan menjadi sebuah kota dari bangsa ini.
Banyak hal yang telah dihasilkan bangsa ini, namun banyak kebobrokan yang malah menyaingi prestasi tersebut, bahkan kebobrokan ini adalah sebuah "prestasi" .
"Prestasi" tersebut adalah berlomba tuk memanjakan diri dari hak orang lain, dengan memamerkan kegengsian yang tinggi, rakyat kecil terus menjadi kecil dan berakhir layaknya sampah yang bahkan tak layak didaur ulang, orang besar (mereka bukan rakyat!) terus menjadi simbol keegoisan dan penindasan. siapa yang harus kita tanya?
Sejak kapan mereka membuang ideologi mereka????

Berbicara hubungan sosial, hanyalah sebuah hubungan maya yang kerap kali malah membangun paradigma yang ironis, ya karena kehidupan nyata membuang energi yang besar dengan kemacetan, tingkatan polusi
yang memilukan, dan berakhir kecapean,sehingga rumah hanya sebagai tempat istirhat bukan tuk bercengkrama dengan keluarga, bahkan menyayangi anak-istri/suami terlewatkan, sehingga hubungan pun menjadi tak harmonis..
Kemegahan bukanlah poin tuk menilai kemajuan bangsa tapi terkadang menjadi cover kebobrokan bangsa
lalu, layakkah kita tuk pesimis (terus), tanpa ada perubahan??  hanya menonton dan menunggu keterpurukankah??
Sesungguhnya Allah takkan mengubah nasib suatu kaum  kecuali kaum itu sendiri yang mengubah apa apa yang pada diri mereka (QS Ar Ra'd : 11)
menggerakkan poin catur kita dan tau siapa raja yang kita bela adalah tugas kita sekarang, karena pembenahan itu ada di diri kita, karena banyak peran yang akan kita mainkan bukan bertilik dari satu,
jika ingin maju bergeraklah dan atur gerak itu ke arah yang benar
mari kita renovasi gudang tua itu, kita balikkan ideologi(??) kita dan kita jalin hubungan yang harmonis karena kita adalah masyarakat yang berbangsa dan berdaulat.

0 komentar:

Posting Komentar